Rabu, 30 Januari 2013

Kisah Nabi Muhammad SAW Bag. 4

Kisah Nabi Muhammad S.A.W Bag. 4



Dari Haji Wada’ Hingga Wafat Rosulullah
A. Ibadah haji wada’
SEJAK Ali b. Abi Talib membacakan awal Surah Bara’ah kepada
orang-orang yang pergi haji, yang terdiri dari orang-orang
Islam dan musyrik, waktu Abu Bakr memimpin jemaah haji, dan
sejak ia mengumumkan kepada mereka atas perintah Muhammad
waktu mereka berkumpul di Mina, bahwa orang kafir tidak akan
masuk surga, dan sesudah tahun ini orang musyrik tidak boleh
lagi naik haji, tidak boleh lagi bertawaf di Ka’bah dengan
telanjang, dan barangsiapa terikat oleh suatu perjanjian
dengan Rasulullah s.a.w. itu tetap berlaku sampai pada
waktunya – sejak itu pula orang-orang musyrik penduduk jazirah
Arab semua yakin sudah, bahwa buat mereka tak lagi ada tempat
untuk terus hidup dalam paganisma. Dan kalau masih juga mereka
melakukan itu, ingatlah, akan pengumuman perang dari Allah dan
RasulNya. Hal ini akan berlaku buat penduduk daerah selatan
jazirah Arab, yaitu Yaman dan Hadzramaut; sebab buat daerah
Hijaz dan sekitarnya sampai ke utara mereka sudah masuk Islam
dan bernaung di bawah bendera agama baru ini. Di bagian
selatan itu sebenarnya masih terbagi antara penganut
paganisma, dengan penganut Kristen. Tetapi orang-orang pagan
ini kemudian menerima juga, seperti yang sudah kita lihat di
atas. Secara berbondong bondong mereka masuk Islam, mereka
mengirim utusan ke Medinah, dan Nabi pun menyambut mereka
dengan sangat baik sekali, yang kiranya membuat mereka lebih
gembira lagi menerima Islam. Sebagian besar mereka kembali ke
daerah kekuasaan mereka masing-masing dan ini membuat mereka
lebih cinta lagi kepada agama baru ini.
Mengenai Ahli Kitab yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan
Nasrani, ayat-ayat yang telah dibacakan oleh Ali dari Surah
At-Taubah demikian bunyinya:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
Hari Kemudian dan tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah dan RasulNya, dan tidak pula beragama menurut agama
yang benar, yaitu orang-orang yang sudah mendapat Al-Kitab,
sampai mereka membayar. jizya dengan patuh dalam keadaan
tunduk.”(1) sampai kepada firman Tuhan:
“Orang-orang beriman! Banyak sekali para pendeta dan
rahib-rahib memakan harta orang dengan jalan yang batil dan
mereka merintangi orang dari jalan Allah. Dan mereka yang
menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan
Allah, beritahukanlah kepada mereka adanya siksa yang pedih.
Tatkala semuanya dipanaskan dalam api jahanam, lalu dengan itu
dahi mereka, lambung mereka dan punggung mereka dibakar.
‘Inilah harta bendamu yang kamu timbun untuk dirimu sendiri.
Sebab itu, rasakan sekarang akibat apa yang kamu timbun itu.”
(Qur’an, 9: 34 – 35)
Menghadapi ayat-ayat Surah At-Taubah sebagai wahyu penutup
dalam Quran itu, banyak ahli-ahli sejarah yang bertanya-tanya
dalam hati: apakah perintah Muhanmnmad ‘a.s. mengenai Ahli
Kitab itu berbeda dengan perintahnya dulu ketika baru-baru ia
membawa ajarannya? Beberapa Orientalis lalu berpendapat bahwa
ayat-ayat ini hendak menempatkan Ahli Kitab dan orang-orang
musyrik dalam kedudukan yang hampir sama; dan bahwa Muhammad,
yang sudah berhasil mengalahkan paganisma di seluruh jazirah,
setelah meminta bantuan pihak Yahudi dan Nasrani, dengan
menyatakan pada tahun-tahun pertama risalahnya itu, bahwa ia
datang membawa agama Isa, Musa, Ibrahim dan rasul-rasul Iain
yang sudah lebih dulu, telah mengarahkan sasarannya kepada
orang-orang Yahudi, yang sudah lebih dulu menghadapinya dengan
permusuhan. Mereka tetap bersikap demikian, sampai akhirnya
mereka diusir dari jazirah. Sementara itu ia hendak mengambil
mati orang-orang Nasrani, lalu turun ayat-ayat yang memperkuat
iman mereka yang baik, sehingga datang firman Tuhan ini:
“Pasti akan kaudapati orang-orang yang paling keras memusuhi
mereka yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang
musyrik dan pasti akan kaudapati orang-orang yang paling akrab
bersahabat dengan mereka yang beriman ialah mereka yang
berkata: ‘Kami ini orang-orang Nasrani.’ Sebab, diantara
mereka terdapat kaum pendeta dan rahib-rahib, dan mereka itu
tidak menyombongkan diri.” (Qur’an, 5: 82)
Nah, sekarang ia mengarahkan tujuannya kepada pihak Nasrani,
sama seperti yang dulu ditujukan kepada pihak Yahudi.
Orang-orang Nasrani digolongkan kedalam mereka yang tidak
percaya kepada Tuhan dan kepada Hari Kemudian. Ia melakukan
hal itu setelah pihak Nasrani memberikan perlindungan kepada
pengikut-pengikutnya kaum Muslimin ketika mereka dulu pergi ke
Abisinia di bawah naungan rajanya yang adil, dan setelah pula
Muhammad menulis surat kepada penduduk Najran dan kaum Nasrani
lainnya dengan menjamin agama mereka dan segala upacara
keagamaan yang mereka lakukan. Lalu golongan Orientalis itu
berpendapat bahwa sikap kontradiksi dalam siasat Muhammad
inilah yang kemudian membuat permusuhan antara pihak Muslimin
dengan Nasrani itu jadi berlarut-larut, dan bahwa dia pula
yang membuat saling pendekatan antara pengikut-pengikut Yesus
dengan pengikut-pengikut Muhammad jadi tidak begitu mudah,
kalau pun tidak akan dikatakan mustahil.
Mengambil argumen ini secara mendatar adakalanya dapat memikat
orang bahwa itu ada juga benarnya, atau pun dapat memikat
orang sampai mempercayainya. Akan tetapi bila orang mau
mengikuti jalur sejarah mau menelitinya sehubungan dengan
masalah-masalah dan sebab-sebab turunnya ayat-ayat itu,
samasekali orang tidak perlu sangsi tentang kesatuan sikap
Islam dan sikap Muhammad terhadap agama-agama Kitab sejak dari
permulaan risalah itu sampai akhirnya. Almasih anak Mariam
ialah Hamba Allah yang diberiNya kitab, dijadikanNya ia
seorang nabi, dijadikannya ia orang yang beroleh berkah dimana
pun ia berada! diperintahkanNya ia melakukan sembahyang,
mengeluarkan zakat selama ia masih hidup. Itulah yang telah
diturunkan oleh Qu’ran sejak dari permulaan risalah sampai
akhirnya. Allah cuma Satu. Allah itu Abadi dan Mutlak. Tidak
beranak dan tidak diperanakkan, dan tiada suatu apa pun yang
meyerupaiNya. Itulah jiwa dan dasar Islam sejak dari langkah
pertama, dan itu pula jiwa Islam selama dunia ini berkembang.
Orang-orang Nasrani Najran pernah mendatangi Nabi hendak
mengajaknya berdebat tentang Tuhan dan tentang kenabian Isa
terhadap Tuhan jauh sebelum Surah At-Taubah ini turun. Mereka
bertanya kepada Muhammad:
“Ibu Isa itu Mariam; lalu siapa bapanya?”
Untuk itu datang firman Allah:
“Hal seperti terhadap Adam; dijadikanNya ia dari tanah lalu
dikatakan: ‘jadilah,’ maka jadilah ia. Kebenaran itu datangnya
hanya dari Tuhan. Jangan kau jadi orang yang sangsi.
Barangsiapa mengajak engkau berdebat tentang Dia setelah
engkau mendapat pengetahuan, katakanlah: ‘Marilah kita panggil
anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan
wanita-wanita kamu, diri kami sendiri dan diri kamu; kemudian
kita berdoa supaya laknat Tuhan itu ditimpakan kepada yang
berdusta.’ Inilah kisah kisah sebenarnya: tiada tuhan selain
Allah. Dan Allah sungguh Maha Kuasa dan Bijaksana. Kalau pun
mereka menyimpang juga, Tuhan jua yang mengetahui mereka yang
berbuat bencana. Katakanlah: ‘Orang-orang Ahli Kitab! Marilah
kita menerima suatu istilah yang sama antara kami dengan kamu;
bahwa tak ada yang akan kita sembah selain Allah, dan bahwa
kita takkan mempersekutukanNya dengan apa pun, dan tidak pula
antara kita akan saling mempertuhan satu sama lain, selain
daripada Allah.’ Tetapi kalau mereka menyimpang juga,
katakanlah: ‘Saksikanlah, bahwa kami ini orang-orang
Muslimin.” (Qur’an, 3: 59 – 64)
Percakapan dalam surah ini, Surah Keluarga ‘Imran dengan gaya
bahasa yang luarbiasa, ditujukan kepada Ahli Kitab, menegur
mereka mengapa mereka merintangi orang beriman dari jalan
Allah dan mengapa mereka mengingkari ayat-ayat yang datang
dari Tuhan, padahal ayat-ayat itu juga yang dibawa oleh Isa,
oleh Musa, oleh Ibrahim, sebelum kata-kata itu diubah-ubah dan
sebelum diartikan menurut kehendak nafsu sendiri disesuaikan
dengan kehidupan duniawi dengan kesenangan yang penuh tipu
daya. Banyak lagi surah-surah lain, yang dalam kata-katanya
ditujukan seperti yang terdapat dalam surah Keluarga ‘Imran
itu. Dalam Surah al-Ma’idah (5) Tuhan berfirman:
“Sebenarnya mereka telah melakukan penyhinaan (terhadap
Tuhan), mereka yang mengatakan, bahwa Allah satu dari tiga
dalam trinitas. Tak ada tuhan kecuali Tuhan Yang Satu. Apabila
tidak mau juga mereka berhenti (menghina Tuhan), pasti mereka
yang telah merendahkan (Tuhan) itu akan dijatuhi siksaan yang
amat pedih. Tidakkah mereka mau bertaubat kepada Tuhan dan
meminta ampun. Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Sebenarnya
Almasih putera Mariam itu hanya seorang rasul, dan ibunya
adalah wanita yang tulus dan jujur, keduanya memakan makanan.
Perhatikanlah, betapa Kami menjelaskan ayat-ayat itu kepada
mereka, lalu perhatikanlah, bagaimana mereka sampai
dipalingkan?” (Qur’an,5:73 – 75)
Kemudian dalam Surah al-Ma’idah itu juga Tuhan berfirman:
“Dan ingat ketika Allah berkata: ‘Hai Isa anak Mariam!
engkaukah yang mengatakan kepada orang: Allah mengangkatku dan
ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?’ Ia menjawab: ‘Maha Suci
Engkau, tidak akan aku mengatakan yang bukan menjadi hakku.
Kalau pun aku mengatakannya, tentu Engkau sudah mengetahuinya.
Engkau mengetahui apa yang ada dalam hatiku, tapi aku tidak
mengetahui apa yang ada didalam DiriMu.” (Qur’an, 5: 116)
sampai pada ayat-ayat selanjutnya seperti sudah kita nukilkan
dalam pengantar buku ini. Salah satu ayat dalam Surah
al-Ma’idah inilah yang oleh penulis-penulis sejarah Kristen
dipersoalkan dan dijadikannya alasan tentang perkembangan
sikap Muhammad terhadap mereka sesuai dengan perkembangan
politiknya, yaitu ketika Tuhan berfirman:
“Pasti akan kau dapati orang-orang yang paling keras memusuhi
mereka yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang
musyrik; dan pasti akan kaudapati orang-orang yang paling
akrab bersahabat dengan mereka yang beriman ialah mereka yang
berkata: ‘Kami ini orang-orang Nasrani.’ Sebab, diantara
mereka terdapat kaum pendeta dan rahib-rahib, dan mereka itu
tidak menyombongkan diri.” (Qur’an, 5: 82)
Sebaliknya, ayat-ayat yang terdapat dalam Surah Bara’ah (9)
yang juga bicara tentang Ahli Kitab sekali-kali tidak
membicarakan kepercayaan mereka mengenai Almasih anak Mariam
itu. Ayat-ayat itu bicara tentang kelakukan mereka
mempersekutukan Tuhan, makan harta orang secara tidak sah
serta menimbun emas dan perak. Sedang menurut Islam Ahli Kitab
itu sudah keluar dari rel agama Isa, mereka menghalalkan apa
yang dilarang oleh Tuhan dan melakukan perbuatan orang yang
tidak beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian. Tetapi sungguh
pun demikian – lepas dari semua itu – keimanan mereka kepada
Tuhan sudah menjadi jembatan buat mereka untuk tidak
dipersamakan dengan orang-orang pagan. Buat mereka yang masih
gigih mau menjadikan Tuhan satu dari tiga dalam trinitas dan
mau menghalalkan apa yang dilarang Tuhan, cukup dengan
membayar jizya dengan taat dan patuh.
Seruan yang telah disampaikan oleh Ali tatkala Abu Bakr
memimpin jamaah haji itu merupakan puncak dari masuknya
penduduk jazirah bagian selatan kedalam Islam secara
berbondong-bondong. Utusan-utusan itu secara berturut-turut
telah datang ke Medinah seperti sudah kita sebutkan -
diantaranya perutusan dari orang-orang musyrik dan dari Ahli
Kitab. Nabi memberi hormat secukupnya kepada setiap utusan
yang datang dan para amir itu dikembalikan ke daerah kekuasaan
mereka dengan cara terhormat sekali. Hal ini sudah kita
sebutkan dalam bagian yang lalu. Asy’ath b. Qais dengan
memimpin 80 orang dari Kinda dengan berkendaraan, mereka
datang kepada Nabi dalam mesjid, dengan berhias rambut,
bercelak mata, mengenakan jubah yang indah-indah dan
berselempang sutera. Begitu melihat mereka, Nabi berkata:
“Bukankah kamu sudah menjadi Islam?”
“Ya,” jawab mereka.
“Buat apa kamu mengenakan sutera ini di leher?” kata Nabi
lagi.
Mereka lalu melepaskan sutera itu.
“Rasulullah,” kata Asy’ath kemudian, “kami dari Keluarga
Akil’l-Murar(2) dan tuan juga dari keturunan Akil’l-Murar.”
Mendengar itu Nabi tersenyum. Ia teringat pada ‘Abbas bin
‘Abd’l-Muttalib dan Rabi’a bin’l-Harith
Bersama dengan Asy’ath itu juga datang Wa’il b. Hujr al-Kindi,
seorang amir dari daerah pantai di Hadzramaut. Ia kemudian
masuk Islam. Nabi mengakui daerah kekuasaannya itu dan
dimintanya ia memungut ‘usyr dari penduduk untuk diserahkan
kepada pemungut-pemungut pajak yang sudah ditunjuk oleh Rasul.
Dalam hal ini Nabi menugaskan Mu’awiya b. Abi Sufyan menemani
Wa’il ke negerinya. Tetapi Wa’il tidak mau sekendaraan dengan
dia dan tidak pula mau memberikan kepadanya alas kaki. Sekedar
dapat menahan panasnya musim, cukup dengan membiarkan dia
berjalan di bawah naungan untanya. Meskipun ini bertentangan
dengan ajaran Islam yang mengajarkan persamaan antara sesama
kaum Muslimin dan semua orang Islam bersaudara, namun Mu’awiya
menerimanya juga demi menjaga Islamnya Wa’il dan golongannya.
Setelah Islam tersiar di kawasan Yaman, Nabi mengutus Mu’adh
(b. Jabal) ke daerah itu untuk memberikan pelajaran kepada
penduduk serta untuk memperdalam hukum Islam, dengan pesan:
“Permudahlah dan jangan dipersulit. Gembirakan dan jangan
ditakut-takuti. Engkau akan bertemu dengan golongan Ahli Kitab
yang akan bertanya kepadamu: ‘Apa kunci surga?’ Maka jawablah:
‘Suatu kesaksian, bahwa tak ada tuhan selain Allah Yang tiada
bersekutu.”
Mu’adh pun berangkat, disertai beberapa orang dari kalangan
Muslimin yang mula-mula dan yang bertugas mengurus ‘usyr,
serta memberikan pelajaran dan menjalankan hukum sesuai dengan
perintah Tuhan dan Rasul.
Dengan tersebarnya Islam di seluruh kawasan jazirah itu – dari
timur sampai ke barat, dari utara sampai ke selatan – maka
seluruh lingkungan itu telah menjadi satu di bawah satu panji,
yaitu panji Muhammad Rasulullah s.a.w. dan berada dalam satu
agama yaitu Islam, jantung mereka pun hanya satu pula arahnya,
yaitu menyembah Allah Yang Tunggal tiada bersekutu.
Sebelum duapuluh tahun yang lalu, kabilah-kabilah itu saling
bermusuhan, satu sama lain serang menyerang dalam peperangan,
setiap ada kesempatan. Tetapi dengan penggabungan mereka
dibawah panji Islam ini; mereka telah menjadi bersih dari
segala noda paganisma, mereka hidup tenteram dibawah
undang-undang Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian
permusuhan di kalangan penduduk itu sudah tak ada lagi. Perang
dan permusuhan sudah tidak punya tempat. Sudah tak ada lagi
orang yang akan menghunus pedang, kecuali jika hendak
mempertahankan tanah air, membela agama Allah dari serangan
pihak lain.
Akan tetapi masih ada sekelompok orang-orang Nasrani Najran
yang masih berpegang pada agama mereka, yang berbeda dengan
sebagian besar masyarakat mereka sendiri, yaitu Banu Harith
yang sudah lebih dahulu masuk Islam. Kepada mereka ini Nabi
mengutus Khalid bin’l-Walid mengajak mereka menganut Islam
supaya terhindar dari serbuannya. Tetapi begitu diserukan
mereka sudah mau masuk Islam. Khalid kemudian mengirim utusan
dari kalangan mereka sendiri ke Medinah supaya menemui Nabi,
yang kemudian disambutnya dengan ramah dan akrab sekali.
Disamping itu ada lagi sekelompok masyarakat Yaman yang masih
merasa enggan sekali tunduk di bawah panji Islam, sebab Islam
lahir di Hijaz, sedang biasanya Yaman yang menyerbu Hijaz.
Sebaliknya, sebelum itu Hijaz tidak yernah menyerang Yaman.
Kepada mereka ini Nabi mengutus Ali b. Abi Talib dengan tugas
mengajak mereka ke dalam Islam. Juga pada mulanya mereka
sangat congkak sekali. Menyambut ajakan Ali dengan
menyerangnya. Akan tetapi Ali – dengan usianya yang masih
begitu muda dan hanya membawa tiga ratus orang – sudah dapat
membuat mereka cerai-berai. Pihak penyerang yang sudah dipukul
mundur itu kembali menyusun lagi barisannya. Akan tetapi Ali
segera mengepung mereka sehingga timbul panik dalam barisan
mereka itu. Tak ada jalan lain mereka harus menyerah. Dengan
demikian kemudian mereka masuk Islam dan menjadi orang Islam
yang baik. Semua pelajaran yang diberikan oleh Mu’adh dan
sahabat-sahabatnya mereka dengarkan baik-baik. Utusan mereka
ini merupakan utusan terakhir yang diterima Nabi di Medinah
sebelum Nabi berpulang ke rahmatullah.
Sementara Ali sedang bersiap-siap kembali ke Mekah, Nabi pun
sedang dalam persiapan pula hendak menunaikan ibadah haji, dan
dimintanya orang juga bersiap-siap. Bulan berganti bulan dan
bulan Zulkaedah pun sudah pula hampir lalu. Nabi belum lagi
melakukan ibadah haji akbar meskipun sebelum itu sudah dua
kali mengadakan ‘umrah dengan melakukan ibadah haji ashghar.(3)
Dalam ibadah haji ada suatu manasik (upacara) yang dalam hal
ini Nabi ‘a.s. adalah contoh bagi umat Islam. Begitu orang
mengetahui benar Nabi telah menetapkan akan pergi haji dan
mengajak mereka ikut serta, tersiarlah ajakan itu ke segenap
penjuru semenanjung. Beribu-ribu orang datang ke Medinah dari
segenap penjuru: dari kota-kota dan dari pedalaman, dari
gunung-gunung dan dari sahara, dari semua pelosok tanah Arab
yang membentang luas, yang sekarang sudah bersinar dengan
cahaya Tuhan dan cahaya Nabi yang mulia itu. Di sekitar kota
Medinah sudah pula dipasang kemah-kemah untuk seratus ribu
orang atau lebih, yang datang memenuhi seruan Nabi, Rasulullah
s.a.w. Mereka datang sebagai saudara untuk saling
kenal-mengenal, mereka dipertalikan semua oleh rasa
kasih-sayang, oleh keikhlasan hati dan oleh ukhuah islamiah,
yang dalam tahun-tahun sebelum itu mereka saling bermusuhan.
Manusia yang berjumlah ribuan itu kini sedang melihat-lihat
kota, masing-masing dengan bibir tersenyum, dengan wajah yang
cerah dan berseri-seri. Berkumpulnya mereka itu menggambarkan
adanya suatu kebenaran yang telah mendapat kemenangan, Nur
Ilahi telah tersebar luas, yang membuat mereka semua teguh
bersatu seperti sebuah bangunan yang kukuh.
Pada 25 Zulkaedah tahun kesepuluh Hijrah Nabi berangkat dengan
membawa semua isterinya, masing-masing dalam hodahnya. Ia
berangkat dengan diikuti jumlah manusia yang begitu melimpah -
penulis-penulis sejarah ada yang menyebutkan 90.000 orang dan
ada pula yang menyebutkan 114.000 orang. Mereka berangkat
dibawa oleh iman, jantung mereka penuh kegembiraan, penuh
keikhlasan, menuju ke Baitullah yang suci. Mereka hendak
menunaikan kewajiban ibadah haji besar.
Bilamana mereka sampai di Dhu’l-Hulaifa, mereka berhenti dan
tinggal selama satu malam di sana. Keesokan harinya, bila Nabi
sudah mengenakan pakaian ihram kaum Muslimin yang lain juga
memakai pakaian ihram. Mereka semua masing-masing mengenakan
kain selubung bagian bawah dan atas. Mereka berjalan semua
dengan pakaian yang sama, yaitu pakaian yang sangat sederhana.
Dengan demikian mereka telah melaksanakan suatu persamaan
dalam arti yang sangat jelas.
Dengan seluruh kalbu Muhammad telah menghadapkan diri kepada
Tuhan dengan mengucapkan talbiah yang diikuti pula oleh kaum
Muslimin dari belakang: “Labbaika Allahumma labbaika, labbaika
la syarika laka labbaika. Alhamdu lillah wan-ni’matu
wa’sy-syukru laka labbaika. Labbaika la syarika laka
labbaika.” (“Kupenuhi panggilanMu, ya Allah, kupenuhi
panggilanMu. Kupenuhi panggilanMu. Tiada bersekutu Engkau.
Kupenuhi panggilanMu. Puji, nikmat dan syukur kepunyaanMu.
Kupenuhi panggilanMu, kupenuhi panggilanMu, tiada bersekutu
Engkau. Kupenuhi panggilanMu.”)
Lembah-lembah dan padang sahara bersahut-sahutan menyambut
seruan ini, semua turut berseru dengan penuh iman. Ribuan, ya
puluhan ribu kafilah itu menyusuri jalan antara
Madinat’r-Rasul dengan Kota Mesjid Suci. Ia berhenti pada
setiap mesjid, menunaikan kewajiban sambil menyerukan talbiah,
sebagai tanda taat dan syukur atas nikmat Allah. Dengan penuh
kesabaran ia menantikan saat ibadah haji akbar itu tiba.
Dengan hati rindu, dengan jantung berdetak penuh cinta akan
Baitullah. Padang-padang pasir seluruh jazirah, gunung-gunung,
lembah-lembah dan padang tanaman yang segar menghijau,
terkejut mendengarnya, dengan kumandangnya yang
bersahut-sahutan; suatu hal yang belum pernah dikenal, sebelum
Nabi yang ummi ini, Rasul dan Hamba Allah ini datang
memberkahinya.
Tatkala rombongan itu sampai di Sarif – suatu tempat antara
jalan Mekah dengan Medinah – Muhammad berkata kepada
sahabat-sahabatnya:
“Barangsiapa diantara kamu tidak membawa binatang kurban dan
ingin menjadikan (ihram) ini sebagai umrah, lakukanlah; tetapi
yang membawa binatang kurban jangan.”
Bilamana jamaah haji sudah sampai di Mekah pada hari keempat
Zulhijjah, Nabi cepat-cepat menuju Ka’bah diikuti oleh kaum
Muslimin yang lain. Kemudian ia menyentuh hajar aswad dan
menciumnya, lalu bertawaf di Ka’bah sebanyak tujuh kali dan
pada tiga kali yang pertama ia berlari-lari seperti yang
dilakukan pada waktu ‘umrat’l-qadza’. Setelah melakukan salat
di Maqam Ibrahim ia kembali dan sekali lagi mencium hajar
aswad. Kemudian ia keluar dari mesjid itu menuju ke sebuah
bukit di Shafa, lalu melakukan sa’i antara Shafa dan Marwa.
Selanjutnya Muhammad berseru supaya barangsiapa tidak membawa
ternak kurban untuk disembelih, jangan terus mengenakan
pakaian ihram. Ada beberapa orang yang masih ragu-ragu. Atas
sikap yang masih ragu-ragu ini Nabi marah sekali seraya
katanya
“Apa yang kuperintahkan, lakukanlah.”
Dalam keadaan masih gusar itu Nabi memasuki kubahnya, sehingga
Aisyah bertanya:
“Kenapa jadi marah?”
“Bagaimana takkan marah, aku memerintahkan sesuatu tidak
dijalankan.”
Ketika ada salah seorang sahabat menemuinya ia masih dalam
keadaan marah.
“Rasulullah,” katanya, “orang yang membuat tuan jadi marah
akan masuk neraka.”
Ketika itu Rasul menjawab:
“Tidak kau ketahui, bahwa aku memerintahkan sesuatu kepada
mereka tapi mereka masih ragu-ragu? Jika aku menghadapi
tugasku, aku takkan pernah mundur! Aku tidak membawa ternak
kurban itu kemari sebelum aku membelinya. Sesudah itu aku
melepaskan ihram seperti mereka juga,” demikian Muslim
melaporkan.
Setelah kaum Muslimin mengetahui, bahwa Rasulullah sampai
marah, ribuan mereka segera melepaskan pakaian ihramnya dengan
perasaan menyesal sekali. Juga isteri-isteri Nabi, Fatimah
puterinya seperti yang lain juga melepaskan pakaian ihramnya.
Yang masih mengenakan ihram hanya mereka yang membawa ternak
kurban.
Sementara kaum Muslimin sedang menunaikan ibadah haji, Ali
pun kembali dari ekspedisinya ke Yaman. Ia sudah mengenakan
pula pakaian ihram sebagai persiapan pergi haji setelah
diketahuinya bahwa Rasulullah memimpin jamaah berhaji. Ketika
ia menemui Fatimah dan dilihatnya sudah melepaskan kain ihram,
hal itu ditanyakannya. Fatimah menerangkan bahwa Nabi
menmerintahkan mereka supaya melepaskan ihram itu waktu umrah.
Ia pun segera pergi menemui Nabi, hendak melaporkan hasil
perjalanannya ke Yaman. Selesai laporan itu Nabi berkata:
“Pergilah bertawaf di Ka’bah kemudian lepaskan ihrammu seperti
teman-temanmu yang lain.”
“Rasulullah”‘ kata Ali, “saya sudah mengucapkah ihlal seperti
yang tuan ucapkan.”(4)
“Kembalilah dan lepaskan ihrammu seperti dilakukan
teman-temanmu yang lain,” kata Nabi lagi.
“Rasulullah,” demikian Ali berkata, “ketika saya mengenakan
ihram, saya sudah berkata begini: Allahumma Ya Allah, saya
berihlal seperti yang dilakukan oleh NabiMu, HambaMu dan
RasulMu Muhammad.”
Nabi bertanya, kalau-kalau dia sudah mempunyai binatang
kurban. Setelah oleh Ali dijawab tidak, Muhammad membagikan
binatang kurban yang dibawanya itu kepada Ali. Dengan demikian
Ali tetap mengenakan ihram dan melakukan manasik haji akbar
sampai selesai.
Pada hari kedelapan Zulhijjah, yaitu Hari Tarwia, Muhammad
pergi ke Mina. Selama sehari itu sambil melakukan kewajiban
salat ia tinggal dalam kemahnya itu. Begitu juga malamnya,
sampai pada waktu fajar menyingsing pada hari haji. Selesai
salat subuh, dengan menunggang untanya al-Qashwa’ tatkala
matahari mulai tersembul ia menuju arah ke gunung ‘Arafat.
Arus-manusia dari belakang mengikutinya. Bilamana ia sudah
mendaki gunung itu dengan dikelilingi oleh ribuan kaum
Muslimin yang mengikuti perjalanannya – ada yang mengucapkan
talbiah, ada yang bertakbir, sambil ia mendengarkan mereka
itu, dan membiarkan mereka masing-masing.
Di Namira, sebuah desa sebelah timur ‘Arafat, telah pula
dipasang sebuah kemah buat Nabi, atas permintaannya. Bila
matahari sudah tergelincir, dimintanya untanya al-Qashwa, dan
ia berangkat lagi sampai di perut wadi di bilangan ‘Urana. Di
tempat itulah manusia dipanggilnya, sambil ia masih di atas
unta, dengan suara lantang; tapi sungguhpun begitu masih
diulang oleh Rabi’a b. Umayya b. Khalaf. Setelah mengucapkan
syukur dan puji kepada Allah dengan berhenti pada setiap anak
kalimat ia berkata, “Wahai manusia sekalian!(5) perhatikanlah
kata-kataku ini! Aku tidak tahu, kalau-kalau sesudah tahun
ini, dalam keadaan seperti ini, tidak lagi aku akan bertemu
dengan kamu sekalian.
“Saudara-saudara!5 Bahwasanya darah kamu dan harta-benda kamu
sekalian adalah suci buat kamu, seperti hari ini dan bulan ini
yang suci sampai datang masanya kamu sekalian menghadap
Tuhan. Dan pasti kamu akan menghadap Tuhan; pada waktu itu
kamu dimintai pertanggung-jawaban atas segala perbuatanmu. Ya,
aku sudah menyampaikan ini!
“Barangsiapa telah diserahi amanat, tunaikanlah amanat itu
kepada yang berhak menerimanya.
“Bahwa semua riba sudah tidak berlaku. Tetapi kamu berhak
menerima kembali modalmu. Janganlah kamu berbuat aniaya
terhadap orang lain, dan jangan pula kamu teraniaya. Allah
telah menentukan bahwa tidak boleh lagi ada riba dan bahwa
riba ‘Abbas b. ‘Abd’l-Muttalib semua sudah tidak berlaku.
“Bahwa semua tuntutan darah selama masa jahiliah tidak berlaku
lagi, dan bahwa tuntutan darah pertama yang kuhapuskan ialah
darah Ibn Rabi’a bin’l Harith b. ‘Abd’l-Muttalib!
“Kemudian daripada itu saudara-saudara.5 Hari ini nafsu setan
yang minta disembah di negeri ini sudah putus buat
selama-lamanya. Tetapi, kalau kamu turutkan dia walau pun
dalam hal yang kamu anggap kecil, yang berarti merendahkan
segala amal perbuatanmu, niscaya akan senanglah dia. Oleh
karena itu peliharalah agamamu ini baik-baik.
“Saudara-saudara.5 Menunda-nunda berlakunya larangan bulan
suci berarti memperbesar kekufuran. Dengan itu orang-orang
kafir itu tersesat. Pada satu tahun mereka langgar dan pada
tahun lain mereka sucikan, untuk disesuaikan dengan jumlah
yang sudah disucikan Tuhan. Kemudian mereka menghalalkan apa
yang sudah diharamkan Allah dan mengharamkan mana yang sudah
dihalalkan.
“Zaman itu berputar sejak Allah menciptakan langit dan bumi
ini. Jumlah bilangan bulan menurut Tuhan ada duabelas bulan,
empat bulan di antaranya ialah bulan suci, tiga bulan
berturut-turut dan bulan Rajab itu antara bulan Jumadilakhir
dan Sya’ban.
“Kemudian daripada itu, saudara-saudara.5 Sebagaimana kamu
mempunyai hak atas isteri kamu, juga isterimu sama mempunyai
hak atas kamu. Hak kamu-atas mereka ialah untuk tidak
mengijinkan orang yang tidak kamu sukai menginjakkan kaki ke
atas lantaimu, dan jangan sampai mereka secara jelas membawa
perbuatan keji. Kalau sampai mereka melakukan semua itu Tuhan
mengijinkan kamu berpisah tempat tidur dengan mereka dan boleh
memukul mereka dengan suatu pukulan yang tidak sampai
mengganggu. Bila mereka sudah tidak lagi melakukan itu, maka
kewajiban kamulah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka
dengan sopan-santun. Berlaku baiklah terhadap isteri kamu,
mereka itu kawan-kawan yang membantumu, mereka tidak memiliki
sesuatu untuk diri mereka. Kamu mengambil mereka sebagai
amanat Tuhan, dan kehormatan mereka dihalalkan buat kamu
dengan nama Tuhan.
“Perhatikanlah kata-kataku ini, saudara-saudara5 Aku sudah
menyampaikan ini. Ada masalah yang sudah jelas kutinggalkan
ditangan kamu, yang jika kamu pegang teguh, kamu takkan sesat
selama-lamanya – Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.
“Wahai Manusia sekalian!5 Dengarkan kata-kataku ini dan
perhatikan! Kamu akan mengerti, bahwa setiap Muslim adalah
saudara buat Muslim yang lain, dan kaum Muslimin semua
bersaudara. Tetapi seseorang tidak dibenarkan (mengambil
sesuatu) dari saudaranya, kecuali jika dengan senang hati
diberikan kepadanya. Janganlah kamu menganiaya diri sendiri.
“Ya Allah! Sudahkah kusampaikan?”
Sementara Nabi mengucapkan itu Rabi’a mengulanginya kalimat
demi kalimat, sambil meminta kepada orang banyak itu
menjaganya dengan penuh kesadaran. Nabi juga menugaskan dia
supaya menanyai mereka misalnya: Rasulullah bertanya “hari
apakah ini? Mereka menjawab: Hari Haji Akbar! Nabi bertanya
lagi: “Katakan kepada mereka, bahwa darah dan harta kamu oleh
Tuhan disucikan, seperti hari ini yang suci, sampai datang
masanya kamu sekalian bertemu Tuhan.”
Setelah sampai pada penutup kata-katanya itu ia berkata lagi:
“Ya Allah! Sudahkah kusampaikan?!”
Maka serentak dari segenap penjuru orang menjawab: “Ya!”
Lalu katanya:
“Ya Allah, saksikanlah ini!”
Selesai Nabi mengucapkan pidato ia turun dari al-Qashwa’ -
untanya itu. Ia masih di tempat itu juga sampai pada waktu
sembahyang lohor dan asar. Kemudian menaiki kembali untanya
menuju Shakharat. Pada waktu itulah Nahi a.s. membacakan
firman Tuhan ini kepada mereka:
“Hari inilah Kusempurnakan agamamu ini untuk kamu sekalian
dengan Kucukupkan NikmatKu kepada kamu, dan yang Kusukai Islam
inilah menjadi agama kamu.” (Qur’an, 5: 3)
Abu Bakr ketika mendengarkan ayat itu ia menangis, ia merasa,
bahwa risalah Nabi sudah selesai dan sudah dekat pula saatnya
Nabi hendak menghadap Tuhan.
Setelah meninggalkan Arafat malam itu Nabi bermalam di
Muzdalifa. Pagi-pagi ia bangun dan turun ke Masy’ar’l-Haram.
Kemudian ia pergi ke Mina dan dalam perjalanan itu ia
melemparkan batu-batu kerikil. Bila sudah sampai di kemah ia
menyembelih 63 ekor unta, setiap seekor unta untuk satu tahun
umurnya, dan yang selebihnya dari jumlah seratus ekor unta
kurban yang dibawa Nabi sewaktu keluar dari Medinah -
disembelih oleh Ali. Kemudian Nabi mencukur rambut dan
menyelesaikan ibadah hajinya.
Dengan selesainya ibadah haji ini, ada orang yang menamakannya
‘Ibadah haji perpisahan’ yang lain menyebutkan ‘ibadah haji
penyampaian’ ada lagi yang mengatakan ‘ibadah haji Islam.’(6)
Nama-nama itu memang benar semua. Disebut ‘ibadah haji
perpisahan’ karena ini yang penghabisan kali Muhammad melihat
Mekah dan Ka’bah. Dengan ‘ibadah haji Islam,’ karena Tuhan
telah menyempurnakan agama ini kepada umat manusia dan
mencukupkan pula nikmatNya. ‘Ibadah haji penyampaian’ berarti
Nabi telah menyampaikan kepada umat manusia apa yang telah
diperintahkan Tuhan kepadanya. Tiada lain Muhammad hanya
memberi peringatan dan pembawa berita gembira kepada
orang-orang beriman.
Keterangan :
(1) Qur’an, 9: 29.
(2)Akil’l-Murar nama suatu kabilah dan sebutan ini
menandakan keturunan amir-amir yang sangat dibanggakan
.
(3) Lihat catatan bawah halaman 580 .
(4) Aslinya ‘Innani ahlaltu kama ahlalta,’ harfiah, Aku
sudah ber-ihlal seperti tuan ber-ihlal: Dalam
terminologi agama ‘Ihlal, meninggikan suara dengan
talbiah’ (N). ‘Ahalla, ihlal berarti meninggikan suara
dengan talbiah di waktu haji atau umrah secara
berulangulang’ (LA) yang biasa dilakukan di miqat atau
muhall, yaitu tempat yang telah ditentukan untuk
memulai niat haji .
(5) Aslinya Ayyuhan-nas, harfiah: “Wahai manusia!”
(6) Yakni ‘Hijjat’l-Wada’, ‘hijjat’l-balagh’ dan
‘hijjat’l-Islam , .
B. Dari Sakit hingga Beliau Wafat
IBADAH haji perpisahan kini sudah selesai, dan sudah tiba
pula saatnya puluhan ribu orang yang menyertai Nabi dalam
ibadah ini akan pulang ke rumah masing-masing. Penduduk Najd
pulang mendaki dataran tinggi, penduduk Tihama ke daerah
pantai dan penduduk Yaman dan Hadzramaut serta daerah-daerah
sekitarnya menuju arah selatan. Nabi dan sahabat-sahabat pun
bertolak menuju Medinah.
Bila mereka sudah sampai dan menetap lagi di kota itu,
keadaan seluruh semenanjung sudah aman. Tetapi, yang masih
selalu menjadi pikiran buat Muhammad ialah soal beberapa
daerah yang masih di bawah kekuasaan Rumawi dan Persia di
daerah Syam, Mesir dan Irak. Dari pihak seluruh jazirah itu
kini sudah tidak ada apa-apa lagi. Orang secara
berbondong-bondong datang memeluk agama Allah, perutusan
datang berturut-turut ke Yathrib menyatakan kesetiaannya,
menyatakan kehendaknya bernaung di bawah bendera Islam, dan
semua orang sudah menggabungkan diri kepadanya ketika dalam
ibadah haji perpisahan itu. Raja-raja Arab dengan daerahnya
masing-masing itu betapa takkan ikhlas kepada Nabi dan
kepada agamanya, jika oleh Nabi yang ummi itu mereka
dibiarkan tetap dengan kekuasaannya dan dalam kemerdekaannya
sendiri pula! Bukankah Bad-han – Gubernur Persia di Yaman -
dibiarkannya dalam kekuasaan itu tatkala ia menyatakan
keislamannya dan lebih menyukai kesatuan wilayah Arab itu
dan membuang penyembahan api Persia? Timbulnya
gerakan-gerakan semacam pemberontakan yang diadakan oleh
beberapa orang di sepanjang jazirah, tidak sampai akan
menghanyutkan Nabi dalam pemikirannya atau akan menimbulkan
rasa kuatir dalam hati, setelah ternyata pengaruh agama baru
ini sudah tersebar ke segenap penjuru, semua wajah menghadap
hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa, kalbu beriman hanya
kepada Allah Yang Maha Esa.
Itu sebabnya, tatkala ada tiga orang yang mendakwakan diri
sebagai nabi, oleh Muhammad tidak banyak dihiraukan. Memang
ada beberapa kabilah yang berjauhan dari Mekah – begitu
mengetahui Muhammad mendapat sukses dengan ajarannya itu -
cepat-cepat pula mereka menyambut orang yang datang
mendakwakan diri nabi dari kabilah mereka itu, dengan
harapan mereka akan mendapatkan nasib seperti yang ada pada
Quraisy, meskipun kabilah-kabilah ini, karena letaknya yang
jauh dari pusat agama baru, tidak mengetahui keadaan yang
sebenarnya. Akan tetapi ajakan kepada kebenaran Tuhan itu
sudah benar-benar berakar di tanah Arab. Tidak mudah orang
akan dapat melawannya. Apa yang telah dialami Muhammad demi
menyampaikan ajaran ini, beritanya sudah sampai ke
mana-mana. Kiranya takkan ada orang yang sanggup memikul
beban ini, selain putera Abdullah itu. Setiap ada orang
hendak mendakwakan diri dengan dasar kepalsuan, pasti
kepalsuan itu akan segera terbongkar. Setiap ada orang yang
mendawakan kenabian tidak pernah ia dalam nasibnya akan
mendapat sukses secara berarti.
Datang Tulaiha – pemimpin Banu Asad, salah seorang pahlawan
Arab dalam perang dan yang berkuasa di Najd – mendakwakan
diri, bahwa dia seorang nabi dan rasul, dan ia memperkuat
dakwaannya itu dengan membuat ramalan mengenai sebuah tempat
sumber air, ketika golongannya itu dalam perjalanan hampir
mati kehausan. Tetapi selama Muhammad masih hidup ia tidak
berani mengadakan “pemberontakan” dan baru ia mengadakan
pemberontakan itu setelah Rasulullah berpulang ke
rahmatullah. Pembangkangan Tulaiha ini oleh Khalid
bin-’l-Walid dihancurkan dan dia sendiri kembali lagi ke
pihak Muslimin dan menjadi orang Islam yang baik.
Juga Musailima, juga Aswad al-’Ansi, yang selama hidup Nabi,
tidak lebih baik daripada nasib Tulaiha. Musailima ini
pernah mengirim surat kepada Nabi dengan mengatakan bahwa
dia nabi, dan “Separoh bumi ini buat kami dan yang separoh
lagi buat Quraisy; tapi Quraisy adalah golongan yang tidak
suka berlaku adil.”
Setelah surat itu dibaca kedua orang utusan Musailima itu
oleh Nabi ditatapnya, dan hendak memberikan kesan kepada
mereka, bahwa Nabi akan menyuruh supaya mereka dibunuh,
kalau tidak karena memang adanya ketentuan bahwa para utusan
harus dijamin keselamatannya. Kemudian Nabi membalas surat
Musailima dengan mengatakan ia sudah mendengarkan isi
suratnya dengan segala kebohongannya itu, dan bahwa bumi ini
kepunyaan Allah yang akan diwarisi oleh hamba-hamba yang
berbuat kebaikan. Dan salam bagi orang yang mengikut
bimbingan yang benar.
Adapun Aswad al-’Ansi – penguasa Yaman sesudah Bad-han
meninggal – orang ini mendakwakan sebagai ahli sihir dan
mengajak orang dengan sembunyi-sembunyi. Karena sudah merasa
dirinya sebagai orang penting di daerah selatan, wakil
Muhammad yang di Yaman diusirnya, dan dia pergi lagi ke
Najran, anak Bad-han di sana dibunuhnya, isterinya dikawini
dan singgasana diwarisinya. Ia hendak menyebarkan
pengaruhnya di kawasan itu. Tapi bahaya ini tidak banyak
mempengaruhi pikiran Muhammad. Dalam hal ini tidak lebih ia
hanya mengutus orang kepada wakilnya1 di Yaman dengan
perintah supaya Aswad dikepung atau dibunuh. Sekali lagi
kaum Muslimin di Yaman berhasil memalcsa Aswad, dan dia
sendiri mati dibunuh isterinya sendiri sebagai balasan atas
dibunuhnya anak Bad-han suaminya yang dulu.
***
Sekembalinya dari ibadah haji perpisahan, pikiran dan
perhatian Muhammad tertuju ke bagian utara, sebab daerah
selatan sudah tidak perlu dikuatirkan lagi. Sebenarnya sejak
terjadinya ekspedisi Mu’ta, dan Muslimin kembali dengan
membawa rampasan perang dan sudah merasa puas pula melihat
kepandaian Khalid bin’l-Walid menarik pasukan, sejak itu
pula Muhammad sudah memperhitungkan pihak Rumawi
matang-matang. Ia berpendapat kedudukan Muslimin di
perbatasan Syam itu perlu sekali diperkuat, supaya mereka
yang dulu pernah keluar dan jazirah ini ke Palestina, tidak
kembali lagi menghasut perang dan mengerahkan penduduk
daerah itu. Oleh karena itu ia menyiapkan pasukan perangnya
yang cukup besar, seperti persiapannya yang dulu, tatkala ia
mengetahui rencana Rumawi hendak menyerbu perbatasan jazirah
itu dan dia sendiri yang memimpin pasukan sampai di Tabuk.
Tetapi waktu itu pihak Rumawi sudah menarik pasukannya
sampai ke perbatasan dalam negeri dan ke dalam benteng
mereka sendiri. Sungguh pun begitu daerah utara ini harus
tetap diperhitungkan, kalau-kalau kenangan lama – di bawah
lindungan Kristen dan pihak yang merasa berkuasa di bawah
Imperium Rumawi waktu itu – akan bangkit kembali dan
mengumumkan perang kepada pihak yang pernah mengeluarkan
orang-orang Nasrani di Najran dan di luar Najran di bilangan
Semenanjung Arab itu.
Oleh karena itu, selesai ibadah haji perpisahan di Mekah,
belum lama lagi kaum Muslimin tinggal di Medinah, Nabi
mengeluarkan perintah supaya menyiapkan sebuah pasukan besar
ke daerah Syam, dengan menyertakan kaum Muhajirin yang
mula-mula, termasuk Abu Bakr dan Umar. Pasukan ini dipimpin
oleh Usama b. Zaid b. Halitha. Usia Usama waktu itu masih
muda sekali, belum melampaui duapuluh tahun. Kalau tidak
karena terbawa oleh kepercayaan yang teguh kepada
Rasulullah, pimpinan Usama atas orang-orang yang sudah lebih
dahulu dan atas kaum Muhajirin serta sahabat-sahabat besar
itu, tentu akan sangat mengejutkan mereka. Tetapi
ditunjuknya Usama b. Zaid oleh Nabi dimaksudkan untuk
menempati tempat ayahnya yang sudah gugur dalam pertempuran
di Mu’ta dulu, dan akan menjadi kemenangan yang dibanggakan
sebagai balasan atas gugurnya ayahnya itu, di samping
semangat yang akan timbul dalam iiwa pemuda-pemuda, juga
untuk mendidik mereka membiasakan diri memikul beban
tanggungjawab yang besar dan berat.
Muhammad memerintahkan kepada Usama supaya menjejakkan
kudanya di perbatasan Balqa’ dengan Darum di Palestina,
tidak jauh dari Mu’ta tempat ayahnya dulu terbunuh, dan
supaya menyerang musuh Tuhan itu pada pagi buta, dengan
serangan yang gencar, dan menghujani mereka dengan api. Hal
ini supaya diteruskan tanpa berhenti sebelum berita sampai
lebih dulu kepada musuh. Apabila Tuhan sudah memberi
kemenangan, tidak usah lama-lama tinggal di tempat itu.
Dengan membawa hasil dan kemenangan itu ia harus segera
kembali.
Sekarang Usama dan pasukannya berangkat ke Jurf (tidak jauh
dari Medinah). Mereka mengadakan persiapan hendak berangkat
ke Palestina. Tetapi, dalam pada mereka sedang bersiap-siap
itu tiba-tiba Rasulullah jatuh sakit, dan sakitnya makin
keras juga, sehingga akhirnya tidak jadi mereka berangkat.
Bisa jadi orang akan bertanya: Bagaimana sebuah pasukan yang
persiapan dan keberangkatannya diperintahkan oleh
Rasulullah, tidak jadi berangkat karena dia sakit? Ya,
Perjalanan pasukan ke Syam yang akan mengarungi sahara dan
daerah tandus selama berhari-hari itu bukan soal ringan, dan
tidak pula mudah buat kaum Muslimin – dengan Nabi yang
sangat mereka cintai melebihi cinta mereka kepada diri
sendiri – akan meninggaIkan Medinah sedang Nabi dalam
keadaan sakit, dan yang sudah mereka sadari pula apa
sebenarnya dibalik sakitnya itu. Ditambah lagi mereka memang
belum pernah melihat Nabi mengeluh karena sesuatu penyakit
yang berarti. Penyakit yang pernah dideritanya tidak lebih
dari kehilangan nafsu makan yang pernah dialaminya dalam
tahun keenam Hijrah, tatkala ada tersiar berita bohong bahwa
ia telah disihir oleh orang-orang Yahudi, dan satu penyakit
lagi yang pernah dideritanya sehingga karenanya ia berbekam,
yaitu setelah termakan daging beracun dalam tahun ketujuh
Hijrah. Cara hidupnya dan ajaran-ajarannya memang jauh dari
gejala-gejala penyakit dan akibat-akibat yang akan timbul
karenanya. Dalam membatasi diri dalam makanan, dan makannya
yang hanya sedikit; kesederhanaannya dalam berpakaian dan
cara hidup; kebersihannya yang dipeliharanya luar biasa
dengan mengharuskan wudu yang sangat disukainya, sampai
pernah ia berkata: kalau tidak karena kuatir akan
memberatkan orang ia ingin mewajibkan penggunaan siwak2 lima
kali sehari, – kegiatannya yang tiada pernah berhenti,
kegiatan beribadat dari satu segi dan kegiatan olah-raga
dari segi lain, kesederhanaan dalam segalanya – terutama
dalam kesenangan; keluhurannya yang jauh dari segala hawa
nafsu, dengan jiwa yang begitu tinggi tiada taranya;
komunikasinya dengan kehidupan dan dengan alam dalam
bentuknya yang sangat cemerlang, dan tiada putusnya, – semua
itu menjauhkan dirinya dari penyakit dan dapat memelihara
kesehatan. Bentuk tubuh yang sempurna tiada cacat, perawakan
yang tegap kuat, seperti halnya dengan Muhammad, akan jauh
selalu dari penyakit.
Jadi kalau sekarang ia jatuh sakit, wajar sekali menjadi
kekuatiran sahabat-sahabat dan orang-orang yang
mencintainya.
Wajar sekali mereka merasa kuatir, menyatakan betapa ia
pernah mengalami kesulitan dan penderitaan hidup selarna
duapuluh tahun terus-menerus. Sejak ia terang-terangan
berdakwah di Mekah mengajak orang menyembah Allah Yang tiada
bersekutu dan meninggalkan semua berhala yang pernah
disembah nenek-moyang mereka, ia sudah mengalami pahit
getirnya penderitaan-penderitaan yang sungguh menekan jiwa,
sehingga ia terpisah dari sahabat-sahabatnya yang kemudian
disuruhnya hijrah ke Abisinia, dan dia sendiri yang terpaksa
berlindung di celah-celah gunung tatkala pihak Quraisy
mengumumkan pemboikotannya. Juga ketika ia berangkat hijrah
dari Mekah ke Medinah – setelah Ikrar ‘Aqaba – ia hijrah
dalam keadaan yang gawat dan sangat berbahaya, ia hijrah
tanpa ia ketahui lagi apa yang akan terjadi terhadap dirinya
di Medinah kelak. Pada tahun-tahun pertama ia tinggal di
sana, ia telah menjadi sasaran kongkalikong dan intrik
orang-orang Yahudi.
Kemudian, dengan adanya pertolongan Tuhan orang di seluruh
jazirah itu datang berbondong-bondong menerima agama ini,
tugas dan pekerjaannya telah bertambah jadi berlipat ganda
banyaknya dan untuk penjagaannya sangat memerlukan tenaga
dan daya upaya yang sungguh berat. Begitu juga Nabi a.s.
telah menghadapi sendiri beberapa peperangan yang sungguh
dahsyat dan mengerikan sekali. Mana pula saat yang lebih
mengerikan daripada peristiwa Uhud, ketika kaum Muslimin
dalam keadaan kucar-kacir, ia berJalan mendaki gunung,
dengan terus-menerus secara ketat diintai oleh Quraisy,
dihujani serangan sehingga gigi gerahamnya pecah! Mana pula
saat yang lebih dahsyat kiranya daripada peristiwa Hunain,
ketika kaum Muslimin dalam pagi buta itu kembali mundur dan
lari tunggang-langgang, sehingga kata Abu Sufyan: Hanya laut
saja yang akan menghentikan mereka. Sedang Muhammad berdiri
tegak, tidak beranjak surut dari tempatnya, seraya ia
berseru kepada kaum-Muslimin: Mau ke mana, mau ke mana!
Kemarilah kemari! Kemudian mereka kembali sampai mendapat
kemenangan. Tugas risalah! Tugas wahyu! Dan itu daya upaya
rohani yang sungguh meletihkan dalam komunikasi yang
terus-menerus dengan rahasia alam nurani dan alam Ilahi. Itu
daya upaya, yang oleh karenanya pernah diceritakan tentang
Nabi yang berkata, “Suruh Hud dan yang semacamnya membuat
aku jadi tua.”3
Semua itu disaksikan oleh sahabat-sahabat Muhammad. Mereka
melihat dia memikul beban yang begitu berat tidak mengenal
sakit. Apabila kemudian ia jatuh sakit, sudah sepantasnya
sahabat-sahabatnya itu jadi kuatir, dan menunda perjalanan
dari markas mereka di Jurf ke Syam, sebelum mereka yakin
benar apa yang akan terjadi dengan kehendak Tuhan kepada
diri Nabi.
Ada suatu peristiwa yang membuat mereka lebih cemas lagi.
Pada malam pertama Muhammad merasa sakit ia tak dapat tidur,
lama sekali tak dapat tidur. Dalam hatinya ia berkata, bahwa
ia akan keluar pada malam musim itu, musim panas yang
disertai hembusan angin di sekitar kota Medinah. Ketika
itulah ia keluar, hanya ditemani oleh pembantunya, Abu
Muwayhiba. Tahukah ke mana ia pergi? Ia pergi ke
Baqi’l-Gharqad, pekuburan Muslim di dekat Medinah.
Sesampainya di pekuburan itu ia berbicara kepada penghuni
kubur, katanya, “Salam sejahtera bagimu, wahai penghuni
kubur! Semoga kamu selamat akan apa yang terjadi atas
dirimu, seperti atas diri orang lain. Fitnah telah datang
seperti malam gelap-gulita, yang kemudian menyusul yang
pertama, dan yang kemudian lebih jahat dari yang pertama.”
Abu Muwayhiba ini juga bercerita, bahwa ketika pertama kali
sampai di Baqi’l-Gharqad Nabi berkata kepadanya:
“Aku mendapat perintah memintakan ampun untuk penghuni Baqi,
ini. Baiklah engkau berangkat bersama aku!”
Setelah memintakan ampun dan tiba saatnya akan kembali, ia
menghampiri Abu Muwayhiba seraya katanya:
“Abu Muwayhiba, aku telah diberi anak kunci isi dunia ini
serta kekekalan hidup di dalamnya, sesudah itu surga. Aku
disuruh memilih ini atau bertemu dengan Tuhan dan surga.”
Kata Abu Muwayhiba:
“Demi ayah bundaku! Ambil sajalah kunci isi dunia ini dan
hidup kekal di dalamnya, kemudian surga.”
“Tidak, Abu Muwayhiba,” kata Muhammad. “Aku memilih kembali
menghadap Tuhan dan surga.”
Abu Muwayhiba bercerita apa yang telah dilihat dan apa yang
telah didengarnya; sebab Nabi mulai menderita sakit ialah
keesokan harinya setelah malam itu ia pergi ke Baqi’. Orang
jadi makin cemas, dan pasukan tidak jadi bergerak. Memang
benar, bahwa Hadis yang dibawa melalui Abu Muwayhiba ini
oleh beberapa ahli sejarah diterima dengan agak sangsi.
Disebutkan bahwa bukan karena sakit Muhammad itu saja yang
membuat pasukan tidak jadi bergerak ke Palestina, tetapi
karena banyaknya orang yang menggerutu, yang disebabkan oleh
penunjukan Usama dalam usia semuda itu sebagai pemimpin
pasukan yang terdiri dari orang-orang penting dalam kalangan
Anshar dan Muhajirin yang mula-mula. Itulah yang lebih
banyak mempengaruhi tidak berangkatnya pasukan itu daripada
sakitnya Muhammad. Dalam memberikan pendapatnya ahli-ahli
sejarah itu berpegang pada peristiwa-peristiwa yang sudah
pembaca ikuti dalam bagian (bab) ini. Kalau kita tidak akan
mendebat mereka yang berpendapat seperti apa yang
diceritakan oleh Abu Muwayhiba secara terperinci itu, kita
pun mendapat alasan akan menolak dasar kejadian-kejadian
itu, dan menolak kepergian Nabi ke Baqi’l-Gharqad serta
memintakan ampunan buat penghuni kubur, juga adanya perasaan
yang kuat akan dekatnya waktu, yaitu waktu menghadap Tuhan.
Ilmu pengetahuan masa kita sekarang ini pun tidak menolak
adanya spiritisma sebagai salah satu gejala psychis.
Perasaan yang kuat akan dekatnya ajal itu sudah banyak
dialami orang, sehingga siapa saja tidak sedikit orang yang
dapat menceritakan apa yang diketahuinya tentang
peristiwa-peristiwa itu. Juga adanya hubungan antara yang
hidup dengan yang mati, antara kesatuan masa lampau dengan
masa datang, kesatuan yang tidak terbatas oleh ruang dan
waktu, dewasa ini sudah pula dapat ditentukan, meskipun -
menurut kodrat bentuk kita -masih terbatas sekali kita akan
dapat mengungkapkan keadaan sebenarnya.
Kalau sudah itu yang dapat kita lihat sekarang dan sudah
diakui oleh ilmu pengetahuan, tidak ada alasan kita akan
menolak dasar peristiwa seperti apa yang diceritakan oleh
Abu Muwayhiba itu, juga tak ada alasan kita dapat menolak
adanya apa yang sudah dapat dipastikan mengenai komunikasi
Muhammad dalam arti rohani dan spiritual dengan alam semesta
ini demikian rupa, sehingga ia dapat menangkap persoalan itu
sekian kali lipat daripada yang biasa ditangkap oleh para
ahli dalam bidang ini.
Keesokan harinya bila tiba waktunya ia ke tempat Aisyah,
dilihatnya Aisyah sedang mengeluh karena sakit kepala: “Aduh
kepalaku!” Tetapi ia berkata – sedang dia sudah mulai merasa
sakit: “Tetapi akulah, Aisyah, yang merasa sakit kepala.”
Tetapi sakitnya belum begitu keras dalam arti ia harus
berbaring di tempat tidur atau akan merintanginya pergi
kepada keluarga dan isteri-isterinya untuk sekedar mencumbu
dan bergurau. Setiap didengarnya ia mengeluh Aisyah juga
mengulangi lagi mengeluh sakit kepala.
Lalu kata Nabi, “Apa salahnya kalau engkau yang mati lebih
dulu sebelum aku. Aku yang akan mengurusmu, mengafanimu,
menyembahyangkan kau dan menguburkan kau!”
Karena senda-gurau itu cemburu kewanitaannya timbul dalam
hati Aisyah yang masih muda itu, sekaligus cintanya akan
gairah hidup ini, lalu katanya:
“Dengan begitu yang lain mendapat nasib baik. Demi Allah,
dengan apa yang sudah kaulakukan itu seolah engkau menyuruh
aku pulang ke rumah dan dalam pada itu kau akan berpengantin
baru dengan isteri-isterimu.”
Nabi tersenyum, meskipun rasa sakitnya tidak mengijinkan ia
terus bergurau.
Setelah rasa sakitnya terasa agak berkurang, ia mengunjungi
isteri-isterinya seperti biasa. Tetapi kemudian sakitnya
terasa kambuh lagi, dan terasa lebih keras lagi. Ketika ia
sedang berada di rumah Maimunah ia sudah tidak dapat lagi
mengatasinya. Ia merasa perlu mendapat perawatan. Ketika itu
dipanggilnya isteri-isterinya ke rumah Maimunah. Dimintanya
ijin kepada mereka, setelah melihat keadaannya begitu, bahwa
ia akan dirawat di rumah Aisyah. Isteri-isterinya
mengijinkan ia pindah.
Dengan berikat kepala, ia keluar sambil bertopang dalam
jalannya itu kepada Ali b. Abi Talib dan kepada ‘Abbas
pamannya. Ia sampai di rumah Aisyah dengan kaki yang sudah
terasa lemah sekali.
Pada hari-hari pertama ia jatuh sakit, demamnya sudah terasa
makin keras, sehingga ia merasa seolah seperti dibakar.
Sungguh pun begitu, ketika demamnya menurun ia pergi
berjalan ke mesjid untuk memimpin sembahyang. Hal ini
dilakukannya selama berhari-hari. Tapi tidak lebih dari
sembahyang saja. Ia sudah tidak kuat duduk bercakap-cakap
dengan sahabat-sahabatnya. Namun begitu apa yang dibisikkan
orang bahwa dia menunjuk anak yang masih muda belia di atas
kaum Muhajirin dan Anshar yang terkemuka untuk menyerang
Rumawi, terdengar juga oleh Nabi. Meskipun dari hari ke hari
sakitnya bertambah juga, tapi dengan adanya bisik-bisik
demikian itu rasanya perlu ia bicara dan berpesan kepada
mereka. Dalam hal ini ia berkata kepada isteri-isteri dan
keluarganya:
“Tuangkan kepadaku tujuh kirbat air dari pelbagai sumur,
supaya aku dapat menemui mereka dan berpesan4 kepada
mereka.”
Lalu dibawakan air dari beberapa sumur, dan setelah oleh
isteri-isterinya ia didudukkan di dalam pasu kepunyaan
Hafsha, ketujuh kirbat air itu disiramkan kepadanya.
Kemudian katanya: Cukup. Cukup.
Lalu ia mengenakan pakaian kembali, dan dengan berikat
kepala ia pergi ke mesjid. Setelah duduk di atas mimbar, ia
mengucapkan puji dan syukur kepada Allah, kemudian mendoakan
dan memintakan ampunan buat sahabat-sahabatnya yang telah
gugur di Uhud. Banyak sekali ia mendoakan mereka itu.
Kemudian katanya :
“Saudara-saudara. Laksanakanlah keberangkatan Usama itu.
Demi hidupku. Kalau kamu telah banyak bicara tentang
kepemirnpinnya, tentang kepemimpinan ayahnya dulu pun juga
kamu banyak bicara. Dia sudah pantas memegang pimpinan,
seperti ayahnya dulu juga pantas memegang pimpinan.”
Muhammad diam sebentar. Sementara itu orang-orang juga diam,
tiada yang bicara. Kemudian ia meneruskan berkata lagi:
“Seorang hamba Allah oleh Tuhan telah disuruh memilih antara
dunia dan akhirat dengan apa yang ada padaNya, maka ia
memilih yang ada pada Tuhan.”
Muhammad diam lagi, dan orang-orang juga diam tidak
bergerak. Tetapi Abu Bakr segera mengerti, bahwa yang
dimaksud oleh Nabi dengan kata-kata terakhir itu adalah
dirinya. Dengan perasaannya yang sangat lembut dan besarnya
persahabatannya dengan Nabi, ia tak dapat menahan air mata
dan menangis sambil berkata:
“Tidak. Bahkan tuan akan kami tebus dengan jiwa kami dan
anak-anak kami.”
Kuatir rasa terharu Abu Bakr ini akan menular kepada yang
lain, Muhammad memberi isyarat kepadanya:
“Sabarlah, Abu Bakr.”
Kemudian dimintanya supaya semua pintu yang menuju ke mesjid
ditutup, kecuali pintu yang ke tempat Abu Bakr. Setelah
semua pintu ditutup, katanya lagi:
“Aku belum tahu ada orang yang lebih bermurah hati dalam
bersahabat dengan aku seperti dia. Kalau ada dari hamba
Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman kesayangan)
maka Abu Bakrlah khalilku. Tetapi persahabatan dan
persaudaraan ialah dalam iman, sampai tiba saatnya Tuhan
mempertemukan kita.”
Bilamana Muhammad turun dari mimbar, sedianya akan kembali
pulang ke rumah Aisyah, tapi ia lalu menoleh kepada orang
banyak itu dan kemudian katanya:
“Saudara-saudara Muhajirin, jagalah kaum Anshar itu
baik-baik; sebab selama orang bertambah banyak, orang-orang
Anshar akan seperti itu juga keadaannya, tidak bertambah.
Mereka itu orang-orang tempat aku menyimpan rahasiaku dan
yang telah memberi perlindungan kepadaku. Hendaklah kamu
berbuat baik atas kebaikan mereka itu dan maafkanlah5
kesalahan mereka.”
Ia kembali ke rumah Aisyah. Tetapi energi yang digunakannya
selama ia dalam keadaan sakit itu, telah membuat sakitnya
terasa lebih berat lagi. Sungguh suatu pekerjaan berat,
terutama buat orang yang sedang menderita demam, ia keluar
juga setelah disirami tujuh kirbat air; ia keluar dengan
membawa beban pikiran yang sangat berat: Pasukan Usama,
nasib Anshar kemudian hari, nasib orang-orang Arab yang kini
telah dipersatukan oleh agama baru itu dengan persatuan yang
sangat kuat. Itu pula sebabnya, tatkala keesokan harinya ia
berusaha hendak bangun memimpin sembahyang seperti biasanya,
ternyata ia sudah tidak kuat lagi. Ketika itulah ia berkata:
“Suruh Abu Bakr memimpin orang-orang sembahyang.”
Aisyah ingin sekali Nabi sendiri yang melaksanakan salat
mengingat bahwa tampaknya sudah berangsur sembuh.
“Tapi Abu Bakr orang yang lembut hati, suaranya lemah dan
suka menangis kalau sedang membaca Qur’an,” kata Aisyah.
Aisyah pun mengulangi kata-katanya itu. Tetapi dengan suara
lebih keras Muhammad berkata lagi, dengan sakit yang masih
dirasakannya:
“Sebenarnya kamu ini seperti perempuan-perempuan Yusuf.
Suruhlah dia memimpin orang-orang bersembahyang!”
Kemudian Abu Bakr datang memimpin sembahyang seperti
diperintahkan oleh Nabi.
Pada suatu hari karena Abu Bakr tidak ada di tempat ketika
oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka Umarlah yang
dipanggil untuk memimpin orang-orang bersembahyang sebagai
pengganti Abu Bakr. Oleh karena Umar orang yang punya suara
lantang, maka ketika mengucapkan takbir di mesjid, suaranya
terdengar oleh Muhammad dari rumah Aisyah.
“Mana Abu Bakr?” tanyanya. “Allah dan kaum Muslimin tidak
menghendaki yang demikian.”
Dengan demikian orang dapat menduga, bahwa Nabi menghendaki
Abu Bakr sebagai penggantinya kemudian, karena memimpin
orang-orang bersembahyang sudah merupakan tanda pertama
untuk menggantikan kedudukan Rasulullah.
Tatkala sakitnya sudah makin keras, panas demamnya makin
memuncak, isteri-isteri dan tamu-tamu yang datang
menjenguknya, bila meletakkan tangan di atas selimut yang
dipakainya, terasa sekali panas demam yang sangat meletihkan
itu. Dan Fatimah puterinya, setiap hari datang menengok. Ia
sangat mencintai puterinya itu, cinta seorang ayah kepada
anak yang hanya tinggal satu-satunya sebagai keturunan.
Apabila ia datang menemui Nabi, ia menyambutnya dan
menciumnya, lalu didudukkannya di tempat ia duduk. Tetapi
setelah sakitnya demikian payah, puterinya itu datang
menemuinya dan mencium ayahnya.
“Selamat datang, puteriku,” katanya. Lalu didudukkannya ia
disampingnya. Ada kata-kata yang dibisikkannya ketika itu,
Fatimah lalu menangis. Kemudian dibisikkannya kata-kata lain
Fatimah pun jadi tertawa. Bila hal itu oleh Aisyah
ditanyakan, ia menjawab:
“Sebenarnya saya tidak akan membuka rahasia Rasulullah
s.a.w.”
Tetapi setelah Rasul wafat, ia mengatakan, bahwa ayahnya
membisikkan kepadanya, bahwa ia akan meninggal oleh sakitnya
sekali ini. Itu sebabnya Fatimah menangis. Kemudian
dibisikkannya lagi, bahwa puterinya itulah dari keluarganya
yang pertama kali akan menyusul. Itu sebabnya ia tertawa.
Karena panas demam yang tinggi itu, sebuah bejana berisi air
dingin diletakkan disampingnya. Sekali-sekali ia meletakkan
tangan ke dalam air itu lalu mengusapkannya ke muka. Begitu
tingginya suhu panas demam itu, kadang ia sampai tak
sadarkan diri. Kemudian ia sadar kembali dengan keadaan yang
sudah sangat payah sekali. Karena perasaan sedih yang
menyayat hati, pada suatu hari Fatimah berkata mengenai
penderitaan ayahnya itu:
“Alangkah beratnya penderitaan ayah!”
“Tidak. Takkan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari
ini,” jawabnya.
Maksudnya ia akan meninggalkan dunia ini, dunia duka dan
penderitaan.
Suatu hari sahabat-sahabatnya berusaha hendak meringankan
penderitaannya itu dengan mengingatkan kepada
nasehat-nasehatnya, bahwa orang yang menderita sakit jangan
mengeluh. Ia menjawab, bahwa apa yang dialaminya dalam hal
ini lebih dari yang harus dipikul oleh dua orang. Dalam
keadaan sakit keras serupa itu dan di dalam rumah banyak
orang, ia berkata:
“Bawakan dawat dan lembaran, akan ku (minta) tuliskan surat
buat kamu, supaya sesudah itu kamu tidak lagi akan pernah
sesat.”
Dari orang-orang yang hadir ada yang berkata, bahwa sakit
Rasulullah s.a.w. sudah sangat gawat; pada kita sudah ada
Qur’an, maka sudah cukuplah dengan Kitabullah itu. Ada yang
menyebutkan, bahwa Umarlah yang mengatakan itu. Di kalangan
yang hadir itu terdapat perselisihan. Ada yang mengatakan:
Biar dituliskan, supaya sesudah itu kita tidak sesat. Ada
pula yang keberatan karena sudah cukup dengan Kitabullah.
Setelah melihat pertengkaran itu, Muhammad berkata:
“Pergilah kamu sekalian! Tidak patut kamu berselisih di
hadapan Nabi.”
Tetapi Ibn ‘Abbas masih berpendapat, bahwa mereka membuang
waktu karena tidak segera menuliskan apa yang hendak
dikatakan oleh Nabi. Sebaliknya Umar masih tetap dengan
pendapatnya, bahwa dalam Kitab Suci Tuhan berfirman:
“Tiada sesuatu yang Kami abaikan dalam Kitab itu.” (Qur’an,
6:38)
Berita sakitnya Nabi yang bertambah keras itu telah tersiar
dari mulut ke mulut, sehingga akhirnya Usama dan anak
buahnya yang ada di Jurf itu turun pulang ke Medinah. Bila
Usama kemudian masuk menemui Nabi di rumah Aisyah, Nabi
sudah tidak dapat berbicara. Tetapi setelah dilihatnya
Usama, ia mengangkat tangan ke atas kemudian meletakkannya
kepada Usama sebagai tanda mendoakan.
Melihat keadaannya yang demikian keluarganya berpendapat
hendak membantunya dengan pengobatan. Asma’ – salah seorang
kerabat Maimunah – telah menyediakan semacam minuman, yang
pernah dipelajari cara pembuatannya selama ia tinggal di
Abisinia. Tatkala Nabi sedang dalam keadaan pingsan karena
demamnya itu, mereka mengambil kesempatan menegukkan minuman
itu ke mulutnya. Bila ia sadar kembali ia bertanya:
“Siapa yang membuatkan ini? Mengapa kamu melakukan itu?”
“Kami kuatir Rasulullah menderita sakit radang selaput
dada,” kata ‘Abbas pamannya.
“Allah tidak akan menimpakan penyakit yang demikian itu
kepadaku.”
Kemudian disuruhnya semua yang hadir dalam rumah – supaya
meminum obat itu, tidak terkecuali Maimunah meskipun sedang
berpuasa.
Muhammad memiliki harta tujuh dinar ketika penyakitnya mulai
terasa berat. Kuatir bila ia meninggal harta masih di
tangan, maka dimintanya supaya uangnya itu disedekahkan.
Tetapi karena kesibukan mereka merawat dan mengurus selama
sakitnya dan penyakit yang masih terus memberat, mereka lupa
melaksanakan perintahnya itu. Setelah hari Minggunya sebelum
hari wafatnya ia sadar kembali dari pingsannya, ia bertanya
kepada mereka: Apa yang kamu lakukan dengan (dinar) itu?
Aisyah menjawab, bahwa itu masih ada di tangannya. Kemudian
dimintanya supaya dibawakan. Bilamana uang itu sudah
diletakkan di tangan Nabi, ia berkata:
“Bagaimanakah jawab Muhammad kepada Tuhan, sekiranya ia
menghadap Allah, sedang ini masih di tangannya.”
Kemudian semua uang dinar itu disedekahkan kepada
fakir-miskin di kalangan Muslimin.
Malam itu Muhammad dalam keadaan tenang. Panas demamnya
sudah mulai turun, sehingga seolah karena obat yang
diberikan keluarganya itulah yang sudah mulai bekerja dan
dapat melawan penyakitnya. Sampai-sampai karena itu ia dapat
pula di waktu subuh keluar rumah pergi ke mesjid dengan
berikat kepala dan bertopang kepada Ali b. Abi Talib dan
Fadzl bin’l-’Abbas. Abu Bakr waktu itu sedang mengimami
orang-orang bersembahyang. Setelah kaum Muslimin yang sedang
melakukan salat itu melihat Nabi datang, karena rasa gembira
yang luarbiasa, hampir-hampir mereka terpengaruh dalam
sembahyang itu. Tetapi Nabi memberi isyarat supaya mereka
meneruskan salatnya. Bukan main Muhammad merasa gembira
melihat semua itu.
Abu Bakr merasa apa yang telah dilakukan mereka itu, dan
yakinlah dia bahwa mereka tidak akan berlaku demikian kalau
tidak karena Rasulullah. Ia surut dari tempat sembahyangnya
untuk memberikan tempat kepada Muhammad. Tetapi Muhammad
mendorongnya dari belakang seraya katanya Pimpin terus orang
bersembahyang. Dia sendiri kemudian duduk di samping Abu
Bakr dan sembahyang sambil duduk di sebelah kanannya
Selesai sembahyang ia menghadap kepada orang banyak, dan
kemudian berkata dengan suara agak keras sehingga terdengar
sampai ke luar mesjid:
“Saudara-saudara. Api (neraka) sudah bertiup. Fitnah pun
datang seperti malam gelap gulita. Demi Allah, janganlah
kiranya kamu berlindung kepadaku tentang apa pun. Demi
Allah, aku tidak akan menghalalkan sesuatu, kecuali yang
dihalalkan oleh Qur’an, juga aku tidak akan mengharamkan
sesuatu, kecuali yang diharamkan oleh Qur’an. Laknat Tuhan
kepada golongan yang mempergunakan pekuburan mereka sebagai
mesjid.”
Melihat tanda-tanda kesehatan Nabi yang bertambah maju,
bukan main gembiranya kaum Muslimin, sampai-sampai Usama b.
Zaid datang menghadap kepadanya dan minta ijin akan membawa
pasukan ke Syam, dan Abu Bakrpun datang pula menghadap
dengan mengatakan:
“Rasulullah!6 Saya lihat tuan sekarang dengan karunia dan
nikmat Tuhan sudah sehat kembali. Hari ini adalah bagian
Bint Kharija. Bolehkah saya mengunjunginya?”
Nabi pun mengijinkan. Abu Bakr segera berangkat pergi ke
Sunh di luar kota Medinah – tempat tinggal isterinya. Umar
dan Ali juga lalu pergi dengan urusannya masing-masing. Kaum
Muslimin sudah mulai terpencar-pencar lagi. Mereka semua
dalam suasana suka-cita dan gembira sekali, – sebab sebelum
itu mereka semua dalam kesedihan, berwajah suram setelah
mendapat berita bahwa Nabi dalam keadaan sakit, demamnya
semakin keras sampai ia pingsan.
Sekarang ia kembali pulang ke rumah Aisyah. Senang sekali
hatinya melihat kaum Muslimin sudah memenuhi mesjid dengan
hati bersemarak, meskipun ia masih merasakan badannya sangat
lemah sekali.
Dipandangnya laki-laki itu oleh Aisyah, dengan kalbu yang
penuh pemujaan akan kebesaran orang itu, dan sekarang penuh
rasa iba hati karena ia lemah, ia sakit. Ia ingin sekiranya
ia dapat mencurahkan segala yang ada dalam dirinya untuk
mengembalikan tenaga orang itu, mengembalikan hidupnya.
Akan tetapi, kiranya perginya Nabi ke mesjid itu adalah
suatu kesadaran batin, yang akan disusul oleh kematian.
Setelah memasuki rumah, tiap sebentar tenaganya bertambah
lemah juga. Ia melihat maut sudah makin mendekat. Tidak
sangsi ia bahwa hidupnya hanya tinggal beberapa saat saja
lagi. Ya, kiranya apakah yang diperhatikannya pada
detik-detik yang masih ada sebelum ia berpisah dengan dunia
ini? Adakah ia mengenangkan hidupnya sejak diutus Tuhan
sebagai pembimbing dan sebagai nabi, mengenangkan segala
yang pernah dialaminya selama itu, kenikmatan yang diberikan
Tuhan kepadanya sampai selesai, kemudian hati merasa lega
karena kalbu orang-orang Arab itu sudah terbuka menerima
agama yang hak? Ataukah selama itu ia tinggal hanya membaca
istighfar – meminta pengampunan Tuhan dan dengan seluruh
jiwa ia menghadapkan diri seperti yang biasanya dilakukan
selama dalam hidupnya? Ataukah juga dalam saat-saat terakhir
itu ia harus menahan penderitaan sakratulmaut sehingga tidak
lagi punya tenaga akan mengingat?
Dalam hal ini beberapa sumber masih sangat berlain-lainan
sekali keterangannya. Sebagian besar menyebutkan bahwa pada
hari musim panas yang terjadi di seluruh semenanjung itu – 8
Juni 632 – ia minta disediakan sebuah bejana berisi air
dingin dan dengan meletakkan tangan ke dalam bejana itu ia
mengusapkan air ke wajahnya; dan bahwa ada seorang laki-laki
dari keluarga Abu Bakr datang ke tempat Aisyah dengan
sebatang siwak di tangannya. Muhammad memandangnya demikian
rupa, yang menunjukkan bahwa ia menginginkannya. Oleh Aisyah
benda yang di tangan kerabatnya itu diambilnya, dan setelah
dikunyah (ujungnya) sampai lunak diberikannya kepada Nabi.
Kemudian dengan itu ia menggosok dan membersihkan giginya.
Sementara ia sedang dalam sakratulmaut, ia menghadapkan diri
kepada Allah sambil berdoa, “Allahumma ya Allah! Tolonglah
aku dalam sakratulmaut ini.”
Aisyah berkata – yang pada waktu itu kepala Nabi berada di
pangkuannya, “Terasa olehku Rasulullah s.a.w. sudah memberat
di pangkuanku. Kuperhatikan air mukanya, ternyata
pandangannya menatap ke atas seraya berkata, “Ya Handai
Tertinggi7 dari surga.”
“Kataku, ‘Engkau telah dipilih maka engkau pun telah
memilih. Demi Yang mengutusmu dengan Kebenaran.’ Maka
Rasulullah pun berpulang sambil bersandar antara dada8 dan
leherku dan dalam giliranku. Aku pun tiada menganiaya orang
lain. Dalam kurangnya pengalamanku9 dan usiaku yang masih
muda, Rasulullah s.a.w. berpulang ketika ia di pangkuanku.
Kemudian kuletakkan kepalanya di atas bantal, aku berdiri
dan bersama-sama wanita-wanita lain aku memukul-mukul
mukaku.”
Benarkah Muhammad sudah meninggal? Itulah yang masih menjadi
perselisihan orang ketika itu, sehingga hampir-hampir timbul
fitnah di kalangan mereka dengan segala akibat yang akan
menjurus kepada perang saudara, kalau tidak karena Tuhan
Yang menghendaki kebaikan juga untuk mereka dan agama yang
sebenarnya ini.
Keterangan :
1 yaitu Mu’adh b. Jabal
2 Siwak, batang kayu kecil dengan dilunakkan ujungnya
dipakai menggosok dan membersihkan gigi
3 Bandingkan: Al-Kasysyaf oleh Zamakhsyari (jilid 2 p. 117)
dalam menafsirkan Surah Hud ayat 112 (11 : 112) dan Mufradat
Raghib, sub verbo “dzall” .
4 Ahida ila, berarti ‘berwasiat’ , atau ‘berpesan’ .
5 Tayawaza ‘an yakni ‘afa ‘an, ‘memaafkan’ .
6 Aslinya “Ya Nabiullah’
7 Ar-Rafiq’-A’la pada umumnya ahli-ahli filologi mengartikan
kata rafiq ini, dengan ‘handai taulan;’ ‘yang lemah-lembut;’
‘teman seperjalanan;’ ‘kawan hidup, suami atau isteri’ (LA).
Dalam istilah Hadis: rafiq berarti ‘para nabi yang menempati
tempat tertinggi,’ untuk jamak dan tunggal ; kata rafiq
dalam Qur’an (4: 691 berarti ‘teman seperjalanan’ dan
rafiq dalam doa di atas ada yang mengartikan ‘Tuhan’ yakni
‘Yang lemah-lembut kepada hambaNya’ . Berarti ‘teman’
dalam surga, (Qur’an, 4:69) demõkian sebagian besar
ahli-ahli tafsir Qur’an. Dalam terjemahan ini dengan
kira-kira dipergunakan kata ‘Handai Tertinggi’ .
8 Sahr ‘berarti paru-paru, yakni ia meninggal sedang
bersandar di dadanya yang menjurus ke paru-paru’
9 Safah, harfiah: kebodohan
Wallahuaa’lam….

Sumber : www.kisahislami.blogspot.com

Tidak ada komentar: